Selasa, 20 Juli 2010

SEKILAS TENTANG BRUNNSTROM
Oleh : Arif Yulianto

Metode terapi latihan khusus untuk penderita hemioplegi, dengan cara membangkitkan pola sinergis dengan menggunakan reaksi asosiasi. Penerapan klinis metode Brunnstrom yang dinamakan Movement Therapy a Neurophysiology Approach, pertama kali dilakukan tahun 1961 dan disempurnakan sampai tahun 1965.


Pendekatan terapi Brunnstrom berdasarkan pada teori ;
1. Synergi
Konsep dasar pendekatan Brunnstrom adalah pendekatan sinergi, hubungan otot ke dalam unit-unit fungsional. Pergerakan atau pola motor terjadi pada level spinal cord. Pola sinergi dapat dihasilkan dari stimulus refleks atau usaha kemauan sendiri.

2. Teori system
Dasar teori system adalah konsep feedback/masukan, bagian-bagian dari keseluruhan berkomunikasi satu dengan yang lain. System saraf sebagai suatu elemen yang aktif ketika dia melakukan treatment terhadap pasien hemiplegi. Dia memfasilitasi refleks hanya untuk mempercepat recovery pasien dari kontrol gerakan secara sengaja. Paasien didorong untuk memulai dan menentukan gerakan mereka dengan terlebih dahulu mendapatkan kontrol terhadap pola sinergis. Dengan membangun kemampuan ini dia membantu pasien mendapatkan peningkatan jumlah pola gerakan.

3. Asimetri Fungsional Otak
Ada perbedaan yang berkaitan dengan hemiplegi kiri dan hemiplegi kanan. Aphasia terjadi pada hemiplegi kanan dan gangguan persepsi spasieal yang mengikuti hemiplegi kiri. Hemisfer otak kiri berfungsi untuk mengontrol bagian kanan tubuh dan untuk komunikasi, bila terjadi kerusakan mengalami gangguan pengertian (membaca, dan menulis), gangguan kesalahan bahasa (kesalahan memilih kata/pengucapan). Hemisfer otak kanan berfungsi untuk mengontrol tubuh kiri, bila terjadi kerusakan terjadi gangguan fungsi kognitif, gangguan intelektual.

Garis besar prosedur pengobatan dengan terapi latihan Brunnstrom ;
1. Pada fase-fase awal penyembuhan (fase 1 sampai 3)
Tujuan pengobatan untuk membangkitkan sinergi, baik dilengan maupun di tungkai. Latihannya menguasai gerakan sinergi secara volunteer. Pasien di bimbing dan diarahkan terhadap gerakan sinergis sehingga akhirnya penderita mampu melakukan gerakan masal/sinergis tadi secara baik. Latihan gerakannya dengan cara ; reaksi asosiasi dan menggunakan beberapa refleks primitif. Untuk memperkuat respon dilakukan ATNR, STNR, stretch reflex. Juga diperkenalkan gerakan reversal yaitu gerakan bolak-balik antara sinergis ekstensor dan fleksor. Menggunakan pola gerak tersebut dalam berbagai aktifitas sehari-hari.

2. Tahap Penyembuhan Fase 4 dan 5
Tujuan terapinya untuk mendapatkan gerakan volunteer di luar pola sinergi. Langkah-langkahnya dengan memecah belah gerakan sinergi, dilakukan secara bertahap.dilakukan impuls sensoris dengan tapping dan squesing/deep kneeding.

3. Tahap Penyembuhan Fase 6
Tujuan terapinya untuk memperbaiki koordinasi gerakan yang lebih halus dan terjadi ketepatan gerakan, terutama fungsi membuka dan menutup tangan ; misal menulis.

Tahap-tahap pemyembuhan dan pola sinergis.
Tahap-tahap penyembuhan inilah oleh Brunnstrom dipakai sebagai patokan dalam pemeriksaan pendahuluan. Adapaun tahap-tahap penyembuhan itu adalah :
Tahap 1 : flaksid. Penderita tidak dapat menggerakkan anggota badan yang lumpuh.

Tahap 2 : spastisitas mulai timbul. Penderita mulai dapat menggrakkan sebagian anggota yang lumpuh baik secara volunteer, maupun terjadi oleh timbulnya reaksi asosiasi.

Tahap 3 : Spastisitas menjadi semakin nyata. Penderita dapat menggerakkan anggota tubuh hanya dalam pola sinergis massal. Reaksi asosiasi yang terjadi juga lebih besar dan dalam pola yang sama dengan sinergisnya.

Tahap 4 : Spastisitas mulai menurun. Penderita mulai dapat menggerakkan anggota tubuhnya di luar pola sinergis. Ada 3 gerakan kombinasi yang merupakan cirri tahap 4 yaitu ; meletakkan tangan di belakang tubuh, mengangkat lengan lurus ke depan, dan dapat melakukan gerakan pronasi-supinasi pada posisi siku fleksi 90.

Tahap 5 : Spastisitas minimal. Penderita dapat melakukan gerakan kombinasi yang lebih kompleks di luar pengaruh sinergis. Gerakan-gerakan yang dipilih untuk mewakili tahap ini adalah : mengangkat lengan lurus ke atas (fleksi bahu lebih dari 90 derajat dengan siku lurus).

Tahap 6 : penderita sudah dapat melakukan banyak kombinasi gerakan dengan koordinasi yang cukup baik, yang jika dilihat sepintas tampak normal.

Motor behaviour pada orang dewasa menurut Brunnstrom diistilahkan dengan sinergi. Pola sinergis pada hemiplegi adalah ;
1. Sinergis fleksor lengan, terdiri :
a. Retraksi dan elevasi bahu.
b. Eksternal rotasi dan abduksi sampai 90 pada bahu
c. Fleksi siku
d. Supinasi lengan bawah
e. Fleksi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari

2. Sinergis ekstensor lengan, terdiri ;
a. Protaksi sendi bahu
b. Internal rotasi dan adduksi bahu
c. Ekstensi siku
d. Pronasi lengan bawah
e. Pergelangan tangan ekstensi dan jari-jari fleksi.

3. Sinergis fleksor tungkai, terdiri ;
a. Hip fleksi, abduksi dab eksternal rotasi
b. Lutut fleksi 90
c. Pergelangan kaki inversi dan dorsi fleksi
d. Jari-jari dorsi fleksi

4. Sinergis ekstensor tungkai, terdiri ;
a. Hip fleksi, adduksi dan internal rotasi
b. Lutut ekstensi atau hiper ekstensi
c. Pergelangan kaki inversi dan plantar fleksi
d. Jari-jari fleksi.

Minggu, 18 Juli 2010

TOTAL KNEE REPLACEMENT

A. DEFINISI TOTAL KNEE REPLACEMENT
Operasi penggantian sendi lutut (total knee replacement atau TKR) adalah operasi ortopedik yang cukup rumit, tetapi semakin banyak dilakukan. Penderita yang mengalami kerusakan pada tulang sendi (seperti osteoarthtritis) kini dapat diatasi dengan total knee replacement. Bahkan sejak tahun 2000, salah satu rumah-sakit di Indonesia, telah melakukan operasi total knee replacement terbanyak di kawasan Asia Tenggara.

Material implant standard(titanium) dengan material implant oxinium
Total knee replacement diberikaan untuk kondisi perkapuran stadium lanjut atau grade IV, biasanya disertai dengan perubahan bentuk fisik dari kaki menyerupai huruf ‘O’ atau ‘X’. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah total knee replacement atau mengganti sendi lutut menggunakan prothese. Meski lutut aritifisial tidak sempurna seperti sebelumnya, tapi operasi itu akan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan hilangnya rasa nyeri, kekakuan sendi, dan bentuk sendi lutut yang bengkok.



Perbandingan lutut sebelum dioperasi dengan lutut sesudah dioperasi
Total knee replacement biasanya dilakukan pada penderita osteoarthritis berat. Sebagian besar pasien yang mendapatkan lutut artifisial berusia di atas 50 tahun, tetapi bukan tidak mungkin ada penderita yang usianya lebih muda karena mengalami kasus khusus.
Meski kerusakan sendi dapat diatasi dengan total knee replacement, tapi tindakan itu mengandung risiko. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setelah operasi penggantian sendi adalah, nabloding (infeksi akibat dari pembalutan yang berlapis-lapis), atau thrombosis (pembekuan darah di sekitar bidang operasi), prothese lepas (akibat infeksi atau tidak kuatnya phrotesa menanggung beban berat badan penderita serta akibat dari aktivitas yang dilakukan penderita).
Prothese dapat bertahan antara 15-20 tahun. Tapi dengan alasan tertentu, total knee ini tidak bisa dilakukan pada orang yang sangat gemuk atau usianya yang masih terlalu muda. Jika prothese sampai loose, hal itu akan berakibat rasa sakit. Meski dapat diganti, tetapi operasi yang kedua hasilnya tidak sebaik operasi yang pertama.

Gambar : Total Knee Replacement
Tindakan penggantian sendi lutut dilakukan dengan bantuan komputer sehingga akurasinya lebih optimal. Komputer dapat membantu menentukan nilai koreksi dari sendi lutut yang sudah mengalami gangguan.
Jumlah total penggantian sendi adalah satu-satunya prosedur efektif bila avascular necrosis sudah menyebabkan osteoarthritis yang signifikan di sisi lain sendi. Walaupun tingkat keberhasilan untuk prosedur ini lebih tinggi daripada 95%, dokter dengan cermat harus menentukan keputusan menganjurkan penggantian sendi karena sendi buatan tidak bertahan selama-lamanya dan pada orang muda mungkin mesti diganti pada waktu nanti.
Oleh karena itu, bagi beberapa orang yang lebih muda, banyak ahli bedah memakai prosedur yang disebut resurfasi pangkal tulang paha jika rongga sendi paha tidak terkena. Prosedur ini melibatkan penanaman tutup logam di balik pangkal tulang paha (mirip memberi tutup kepada gigi daripada mencabut gigi dan menaruh gigi palsu).Beberapa orang menjalani prosedur resurfasi pangkal tulang paha diiikuti dengan penggantian paha secara total. Total Knee Replacement melibatkan 7-8 incisi di atas lutut, dan beristirahat di rumah sakit selama 3-5 hari. Fase recovery berlangsung dari 1-3 bulan. Setelah dilakukan operasi, biasanya pasien akan dapat berjalan kembali dan nyeri sendi berkurang secara nyata. Keterbatasan aktifitas hanyalah pada penekukan sendi lutut yang ekstrim misalnya, berjongkok atau duduk menekuk.
Total Knee Replacement umumnya memerlukan waktu operasi selama 1 sampai 3 jam. Setelah operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan, dimana organ-organ vital dimonitor fungsinya. Ketika sudah stabil, pasien dibawa kembali ke bangsal.
Resiko total knee replacement termasuk hematoma di kaki yang dapat berjalan ke paru-paru (emboli paru). Pulmonary emboli dapat menyebabkan sesak nafas, sakit dada, dan bahkan syok. Risiko lainnya meliputi infeksi saluran kencing, mual dan muntah (biasanya terkait dengan obat nyeri), nyeri lutut kronis dan kekakuan, perdarahan sendi lutut, kerusakan saraf, cedera pembuluh darah, dan infeksi pada lutut yang memerlukan operasi ulang.
Sebelum operasi, sakit pada sedi lutut harus dievaluasi secara hati-hati. Hal ini penting untuk memastikan hasil yang optimal dari operasi.
Setelah dilakukan Total Knee Replacement, hindari aktivitas berikut :
1. Lari atau jogging
2. Latihan yang terlalu padat
3. Olah raga dengan perputaran (tennis, bola basket)
4. kontak sport (sepak bola)
B. PATOFISIOLOGI TOTAL KNEE REPLACEMENT
Penghancuran osteoarthritis lutut adalah alasan umum untuk total knee replacement. Hal ini terutama berkaitan dengan penuaan. Gejala osteoarthritis biasanya muncul pada usia tua. Kartilago yang terkena menjadi kasar dan rata. Akan menjadi parah saat kartilago menghilang ketika terjadi gesekan tulang. Spur pada tulang biasanya tumbuh di sekitar sendi.
Osteoarthrtitis diklasifikasikan menjadi Primer dan Sekunder. Osteoarthitis primer terjadi tanpa cedera yang dapat diidentifikasi. Osteoarthritis sekunder terjadi karena penyakit lain. Penyebab paling umum dari osteoarthritis sekunder yaitu kondisi metabolisme, cedera atau pun karena gangguan peradangan seperti arthritis septik.
Operasi dilakukan dengan anastesi umum. Dokter ortopedi akan membuat luka di sendi lutut yang terkena. Patellanya dipindah (diambil dari tempatnya) kemudian ujung femur dan tibia dipotong agar sesuai dengan protesa. Demikian pula permukaan bawah patella dipotong untuk memmungkinkan penempatan protesa tersebut.
C. INDIKASI TOTAL KNEE REPLACEMENT
Indikasi utama adalah untuk mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh arthritis. Tujuan sekunder untuk memperbaiki cacat, dan untuk mengembalikan fungsi. Lebih khusus, canidates untuk total knee replacement perubahan degeneratif sendi lutut yang telah parah.
D. TUJUAN TOTAL KNEE REPLACEMENT
Tujuan total knee replacement yaitu :
1. Untuk membebaskan sendi dari rasa nyeri
2. Untuk menggembalikkan rentang gerak (ROM)
3. Untuk menggembalikkan fungsi normal bagi seorang pasien
4. Untuk membangun kembali akrivitas sehari-hari (ADL), dengan modifikasi yang tetap menjaga ROM pasien.

E. REHABILITASI
1. Hari operasi
a. Deep breathing exercises
b. Active movement
2. Post-op hari 1
a. Isometrik ekstremitas bawah termasuk hamstring, quasriceps dan gluteus.
b. Mengenakan immobilizer sendi lutut
c. Menahan beban setelah operasi dapat bersifat parsial atau penuh, tergantung pada kebijaksanaan dokter bedah
3. Post-op hari 2
a. Berdiri di samping ranjang dengan lutut immobilizer dan parsial weight-bearing untuk menahan beban pada ekstremitas
b. Active assisted ROM
4. Post-op hari 3 dan 4
a. Progresif isotonik dan isometrik untuk penguatan otot lutut dan pinggul
b. Berkonsentrasi pada gerak ekstensi lutu melalui latihan ekstensi lutut aktif
Daftar urutan ambulasi yang diberikan kepada pasien setelah total knee replacement :
• Untuk hari pertama dan kedua, pasien biasanya diberikan terapi pada paralel bars.
• Pasien kemudian berlanjut ke tongkat atau walker (dengan 2 tongkat atau kruk) untuk 6 minggu pertama.
• Pasien kemudian maju ke satu kruk atau tongkat, yang dilanjutkan untuk 6 minggu berikutnya.
• Kebanyakan pasien (70%) dapat berjalan tanpa alat bantu dalam waktu 3 bulan.
Hal yang ditargetkan setelah total knee replacement :
Otot-otot yang paling terpengaruh oleh operasi adalah otot quadriceps (m. vastus lateralis, m. vastus medialis, m. vastus intermedius, dan rektus femoris). Isometrik dan ROM aktif harus dimulai segera setelah pembedahan. Untuk 6 minggu pertama, otot quadraceps harus diperkuat dengan latihan isometrik. Lalu, ditingkatkan dengan latihan atau isotonik. Otot-otot lain yang bekerja pada lutut yang bekerja pada rantai kinetik harus diperkuat, seperti otot hamstring, otot gastrocsoleus, dan otot pergelangan kaki (dorsiflexors).
CABG
teknik By –Pass (operasi) jantung koroner tanpa menghentikan denyut jantung dan tanpa bantuan mesin jantung paru (Off-pumpu Coronary Artery Bypass Gratting –CABG), yang merupakan operasi jantung tanpa menghentikan denyut jantung serta oklusi sementara aliran koroner 5-15 menit.
Keuntungan penggunaan Off Pump CABG, selain menurunkan morbiditas dan mortalitas serta penghematan biaya sampai 10%, karena tidak menggunakan mesin jantung paru selain tentunya akan meminimalkan lama perawatan di rumah sakit dari 12 hari dengan metode Pompa jantung, sedangkan tanpa pompa hanya sekitar 5 hari perawatan.

Kecanggihan teknologi bedah jantung saat ini sudah sangat maju pesat dimana para ahli bedah dimungkinkan melakukan Operasi Bypass Arteri Koroner saat jantung masih berdetak. Teknik ini dikenal dengan nama operasi Off-Pump Coronary Artery Bypass Graft (OPCABG), yaitu sebuah teknik operasi jantung dimana Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan seperti pada umumnya hanya saja pasien tidak dihubungkan ke mesin cardiopulmonary bypass dan jantung pasien tidak dihentikan (disebut Off-Pump). Bagian-bagian jantung yang perlu dijahit distabilkan dengan suatu perangkat yang dirancang khusus yang disebut “stabilizer”. Teknik ini memungkinkan penjahitan pembuluh darah dilakukan dengan aman dan akurat tanpa menghentikan jantung pasien. Hal ini sama seperti pasien menjalani operasi besar lainnya dimana peredaran darah dan lain-lain berjalan secara alamiah tanpa alat-alat bantu buatan seperti mesin cardiopulmonary bypass.

Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan salahsatu penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara membuat saluran baru melewati bagian Arteri Coronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan, oleh Lita Feriyawati

Revascularisasi bedah (cangkok pintas = CABG)
Pembuluh standar yang dipakai dalam melakukan CABG adalah vena savena magna tungkai dan arteria mamae interna kiri dari rongga dada.

Pada pencangkokan pintas dengan vena savena magna, satu ujung dari vena ini disambung ke aporta asendens dan ujung lain ditempelkan pada bagian pembuluh darah sebelah distal dari sumbatan. Saluran baru ini dibuat untuk menghindari pembuluh darah yang mengalami penyempitan, sehingga darah dapat dialirkan ke miokardium yang bersangkutan.
Kelainan Pleksus
DEFINISI
Suatu pleksus berfungsi menyalurkan saraf-saraf, seperti halnya yang terjadi pada kotak listrik yang menyalurkan kabel-kabel ke ruang yang berbeda dalam sebuah rumah.
Cedera pada saraf-saraf di dalam pleksus utama bisa menyebabkan kelainan pada lengan atau tungkai yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
Pleksus utama dalam tubuh manusia adalah:
- Pleksus brakialis, terletak di dalam leher dan menyalurkan saraf ke lengan
- Pleksus lumbosakralis, terletak di punggung bagian bawah dan menyalurkan saraf ke panggul dan tungkai.

PENYEBAB
Pleksus seringkali mengalami kerusakan jika tubuh membentuk antibodi yang menyerang jaringannya sendiri (reaksi autoimun).
Neuritis brakialis akut mungkin disebabkan oleh reaksi autoimun.
Tetapi pleksus lebih sering mengalami kerusakan karena cedera fisik atau kanker.
Sebuah kecelakaan yang menyebabkan lengan tertarik atau tertekuk bisa merusak pleksus brakialis; jika seseorang terjatuh bisa melukai pleksus lumbosakralis.
Kanker yang tumbuh di bagian atas paru-paru bisa menyusup dan merusak pleksus brakialis; kanker usus, kandung kemih atau prostat bisa menyusup ke dalam pleksus lumbosakralis.

GEJALA

Kelainan fungsi pada pleksus brakialis bisa menyebabkan nyeri dan kelemahan pada lengan.
Kelemahan bisa hanya terjadi pada suatu bagian lengan atau keseluruhan lengan.

Jika penyebabnya adalah kelainan autoimun, maka lengan akan kehilangan kekuatannya dalam 1 hari sampai 1 minggu dan secara perlahan kekuatannya akan kembali dalam wakatu beberapa bulan.
Penyembuhan juga cenderung terjadi secara perlahan, sampai beberapa bulan, meskipun cedera yang berat bisa menyebabkan kelemahan yang menetap.

Kelainan fungsi pada pleksus lumbosakralis bisa menyebabkan nyeri punggung bagian bawah dan tungkai, serta menyebabkan kelemahan pada sebagian atau keseluruhan tungkai.
Kelemahan bisa terbatas pada pergerakan kaki atau betis atau bisa menyebabkan kelumpuhan total pada tungkai.

Penyembuhan tergantung kepada penyebabnya.
Jika disebabkan oleh penyakit autoimun, maka biasanya berlangsung secara perlahan, sampai beberapa bulan.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Elektromiogram dan perangsangan saraf bisa membantu menentukan lokasi kelainan.

Untuk menentukan penyebabnya bisa dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI.

PENGOBATAN

Pengobatan tergantung kepada penyebabnya.

Kanker di terletak di dekat pleksus bisa diatasi dengan terapi penyinaran atau kemoterapi.
Kadang tumor atau bekuan darah yang mengganggu pleksus harus diangkat melalui pembedahan.

Kadang diberikan kortikosteroid untuk mengatasi neuritis brakial akut dan kelainan pleksus lainnya, yang diduga disebabkan oleh kelainan autoimun.

Jika penyebabnya adalah cedera fisik, maka biasanya akan membaik dengan sendirinya.

Sabtu, 17 Juli 2010

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA

KONDISI POST OPERASI FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL DEXTRA DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW

A. Deskripsi Kasus

1. Anatomi

a. Sistem Tulang

Tulang-tulang tungkai adalah tibia atau tulang garas dan fibula. Tibia merupakan tulang kuat satu-satunya yang menghubungkan femur dan tulang-tulang tumit dan kaki.

1) Tulang Tibia

Tibia mempunyai corpus yang sedikit berbentuk segitiga dan ujung proksimal dan distal. Pada ujung proksimal terdapat condylus medialis dan lateralis. Permukaan proksimal, facies articularis superior, dipisahkan oleh eminentia intercondyloidea. Penonjolan ini dibagi menjadi tuberculum intercondyloideum mediale dan lateral. Di depan dan dibelakang eminentia terdapat fossa intercondyloidea anterior dan posterior. Pada condylus lateralis yang menghadap keluar terdapat facies articularis yang arahnya ke lateral dan distal untuk bersendi dengan fibula. Corpus fibulae yang terdiri atas tiga permukaan mempunyai crista anterior yang tajam, yang di proksimal menjadi tuberositas tibiae dan distal merata. Crista anterior memisahkan facies medialis dari facies lateralis. Facies lateralis bersatu dengan facies posterior pada crista interossea. Facies posterior dipisahkan dari facies medialis oleh margomedialis. Diproksimal facies posterior corpus tibiae terdapat suatu daerah yang sedikit kasar, linea poplitea, berjalan miring dari sisi distomedial ke sisi proksimolateral. Lateral terhadap garis ini terdapat foramen nutricium yang ukurannya berbeda-beda.

Ujung distal di sebelah medial memanjang membentuk malleolus medialis dengan facies articularis malleolaris. Sulcus malleolaris berjalan sepanjang permukaan posteriornya. Facies articularis inferior tibiae, bersendi dengan talus. Pada sisi lateral, pada incisura fibularis, terdapat hubungan sindesmosis yaitu suatu sendi fibrosa dengan fibula.


2) Tulang Fibula

Fibula kira-kira panjangnya sama dengan tibia, tetapi lebih tipis dan oleh karena itu merupakan tulang yang lebih fleksibel. Fibula juga terdiri atas dua ekstremitas dan satu corpus. Ujung proksimal adalah capitulum fibulae dengan facies articularisnya dan suatu penonjolan kecil, apex capitulum fibulae. Corpus fibulae pada bagian tengahnya kira-kira berbentuk segitiga dan mempunyai tiga batas dan tiga permukaan. Pada sepertiga distal terdapat empat batas. Pinggir yang paling tajam menghadap ke depan, crista anterior yang memisahkan facies lateralis dari facies medialis. Crista medialis memisahkan facies medialis dari facies posterior. Facies posterior dipisahkan dari facies lateralis oleh crista lateralis. Pada permukaan medial terdapat pinggir tulang yang sangat tajam, crista interossea melekat. Kira-kira pada pertengahan permukaan posterior atau pada crista lateralis terdapat foramen nutricium. Pada permukaan lateral ujung distal, yang berjalan kearah distal, terdapat malleolus lateral yang kecil dan gepeng dengan facies articularis untuk bersendi dengan talus pada permukaan dalamnya. Pada permukaan posterior terdapat celah dalam, fossa malleolaris lateralis dimana melekat ligamentum talofibularis.

Tabel 1 : Sistem Otot pada tungkai bawah

NO

OTOT

ORIGO

INSERTIO

INERVASI

FUNGSI

1

Plantaris

Planum popliteus femoris

Berjalan sisi medial tendo calcaneus

Os calcaneus

n. tibialis

· Plantar flexi art. Talocruralis

· Flexi art. Genu

2

Popliteus (tertutup m. Gastrocnemius dan m. Plantaris)

· Epicondilus lateralis femoris

· Ligamentum popliteum arquatum (serabut : medioinferior)

Facies posterior tibiae

n. tibialis L4-5, S1

Flexi tungkai bawah

3

Gastrocnemius

· Caput mediale condylus medialis femoris

· Caput laterale condylus lateralis femoris

Posterior os calcaneus

n. tibialis S1-2

· Plantar flexi art. Ankle

· Membantu flexi lutut

4

Soleus

· Permukaan posterior capitulum fibulae

· ⅓ proximal facies posterior fibulae

· Linea poplitea

· ⅓ tengah margo medialis tibiae

Os calcaneus

n. tibialis

Plantar flexi art. Talocruralis

5

Flexor hallucis longus

Facies posterior fibulae (dibawah origo m. Soleus)

Os phalangeal distal jari I

n. tibialis

· Flexi art. MP dan IP jari I

· Plantar flexi art. Talocruralis

· Membantu inversi art. talocalcaneonavicularis

6

Tibialis posterior

· ⅓ proximal facies medialis fibulae

· Facies posterior tibiae

· Membrana interossea cruris

Tuberositas ossis navicularis, ossa cuneiformis, os cuboideum, os metatarsus II-IV

n. tibialis

· Plantar flexi art. Talocruralis

· Inversi art. talocalcaneonavicularis

7

Peroneus longus

· ⅔ proximal facies lateralis fibulae (prox. Ankle membantuk tendon ke distal di belakang malleolus lateralis, di lateral os calcaneus, masul sulcul mm. peronei

Basis os metatarus I, os cuneiforme I

n. peroneus superficialis

· Eversi art. talocalcaneonavicularis

· Membantu plantar flexi art. Talocruralis

8

Peroneus brevis

· ⅔ distal facies lateralis fibulae, dibelakang melleolus lateralis

Tuberositas ossis metatarsi V

n. peroneus superficialis

· Eversi art. talocalcaneonavicularis

· Membantu plantar flexi art. Talocruralis

9

Tibialis anterior

· 2 prox. Facies lateralis tibiae

· Membrana interossea cruris

Sisi medial os cuneiformis I dan basis os metatarsus I

n. peroneus profundus

· Dorsi flexi art. Talocruralis

· Inversi art. talocalcaneonavicularis

10

Extensor digitorum longus

· ¾ prox. bagian depan os fibula

Os phalangeal medial dan distal setiap jari pada jari II-V

n. peroneus profundus

· Extensi art. MP jari II-V

· Dorsi flexi art. Talocruralis

11

Peroneus tertius (bagian m. Extensor digitorum longus)

· ¼ distal bagian depan os fibula

· Membrana interossea cruris

Basis os metatarsus V

n. peroneus profundus

· Dorsi flexi art. Talocruralis

· Eversi art. Talocalcaneonavicularis

12

Extensor hallucis longus

· ¼ tengah bagian depan os fibbula

· Membrana interossea cruris

Basis os phalangeal proximal jari I

n. peroneus profundus

· Extensi art. MP dan IP jari I

· Dorsi flexi art. Talocruralis

13

Flexor digitorum longus

· ½ proximal facies posterior tibia

Os phalangeal distalis jari II-V

n. tibialis

· Flexi art. MP dan IP jari II-V


c. Sistem Sendi

1) Sendi Lutut

Sendi lutut adalah sendi yang komplit yang melibatkan empat tulang yaitu os femur, os tibia, os patella, serta os fibula. Lutut terdiri dari dua persendian yang berada dalam satu kapsul yaitu sendi tibiofemoral dan sendi patellofemoral (Norkin, 1995). Tibiofemoral dibentuk oleh condylus femoralis lateralis dan medialis yang berbentuk cembung dengan tibia plateu yang berbentuk cekung. Sendi patellofemoral dibentuk oleh facies patellaris tulang femur dengan tulang patella.

Pada sendi lutut terdapat meniscus yang berbentuk bulan sabit. Berfungsi sebagai penyebar pembebanan, ada dua yaitu meniscus lateralis dan meniscus medialis (Kapanji, 1987). Terdapat bursa yang merupakan suatu kantong yang berisi cairan yaitu bursa suprapatellaris, supra subtendinosus, bursa intrapatellaris dan bursa prepatellaris subcutanea. Ligament yang memperkuat sendi lutut yaitu ligament collateral mediale, ligament collateral lateral, ligament cruciatum posterior dan ligament cruciatum anterior. LGS lutut secara pasif umumnya antara 130˚ dan 140˚. Hiperekstensi antara 5˚ sampai 10˚ masih dalam batas normal (Williams, 1985). Secara aktif untuk fleksi 120o sampai 130o dan ekstensi 0o (Palmer, 1990). Disamping sendi tibiofemoral dan sendi patellofemoral masih ada sendi ketiga yaitu sendi tibiofiburalis proksimal. Sendi ini tidak termasuk kedalam sendi lutut karena secara fungsional lebih cenderung termasuk sendi pergelangan kaki. (de Wolf, 1990).

2) Sendi pergelangan kaki

Sendi pergelangan kaki terdiri dari tiga persendian, yaitu tibiofibularis distalis, sendi talocruralis dan subtalar (Norkin, 1995). Sendi tibiofibularis distal dibentuk oleh incisura fibularis tibia dengan facies articularis fibula. Sendi tibiofibularis proksimal dan distal diperkuat oleh membrana interoseus yang terletak antara tibia dan fibula sendi talocruralis dibentuk oleh ujung distal tulang fibula yang membentuk permukaan cekung dengan talus yang permukaanya cembung. Sendi subtalar dibentuk oleh tulang talus dan calcaneus.

d. Sistem Saraf

1) N. femoralis (L2,3,4)

a) Origo : divisi posterior dari rami anterior primer L2,3,4

b) Perjalanan : n. femoralis melintasi m. psoas dan muncul di sisi lateralnya. Kemudian menuruni fosa iliaka dan lewat bawah ligamentum inguinale. Di titik ini nervus terletak pada m. iliakus yang dipersarafinya dan tepat di sebelah lateral selubung femoralis. Cabangnya dalam trigonum femoralis hanya sedikit (5 cm) di bawah ligamentum inguinale. A. sirkumfleksa femoralis lateralis lewat melalui cabang-cabang ini dan membaginya menjadi divisi superficialis dan profunda :

(1) Divisi superfisialis, terdiri atas cabang-cabang kutaneus medialis dan intermedia, yang mempersarafi kulit diatas aspek anterior dan medial paha serta dua cabang muskularis. Cabang muskularis ini mempersarafi mm. Sartorius dan pektineus.

(2) Divisi profunda, terdiri dari empat cabang muskularis yang mempersarafi komponen-komponen m. kuadriseps femoris dan satu n. kutaneus - n. safenus. Nervus ini adalah satu-satunya cabang yang panjangnya melewati lutut. Nervus ini menembus fasia profunda yang melapisi kanalis adductor dan menuruni tungkai berdampingan dengan v. safena magna untuk mempersarafi kulit di atas aspek medial tungkai dan kaki.

2) N. obturatorius (L2,3,4)

a) Origo : divisi anterior dari rami primer anterior L2,3,4

b) Perjalanan : n. obturatorius muncul disisi lateral m. psoas. Nervus ini melalui pintu atas panggul untuk menembus aspek atas foramen obturatorium bersama dengan pembuluh obturator lain. Pada insisura obturatorius yang lewat di depan dan belakang m. adductor brevis untuk mempersarafi otot-otot di kompartemen abduktor :

(1) Divisi anterior, mempersarafi cabang artikularis ke artikularis coxae dan cabang muskularis ke mm. adductor longus, brevis dan m. grasilis. Nervus ini berakhir dengan mempersarafi kulit pada aspek medial paha.

(2) Divisi posterior, memberi cabang-cabang muskularis ke m. obturatorius eksternus dan mm. adductor brevis dan magnus selain memberi cabang artikularis menuju lutut.

3) N. Tibialis (L4-S3)

a) Origo : merupakan cabang terminal n. isciadikus

b) Perjalanan : melintasi fosa poplitea di atas a/v. poplitea dari sisi lateral ke medial. Meninggalkan fosa poplitea nelalui bagian bawah arkus fibrosa soleus dan pada tungkai turun bersama a. tibialis posterior dari medial ke lateral di pertengahan betis dan bersama dengan a. tibialis, lewat dibelakangan maleolus medialis dan kemudian di bawah reticulum muskulorum fleksorum pedis dimana saraf ini terbagi menjadi cabang-cabang terminal yaitu nn. plantaris medialis dan lateralis.

c) Cabang utama :

(1) Cabang genikularis, menuju artikulasio genus

(2) Cabang muskularis, menuju m. plantaris, m. soleus, m. gastroknemius dan otot-otot profunda bagian belakang tungkai.

(3) N. suralis keluar dari fosa poplitea dan bergabung dengan cabang komunis sural dari n. fibularis profunda. Menembus fasia profunda di betis dan menurun di subkutan bersama dengan v. safena parva. Lewat di belakang maleolus lateralis dan di bawah retinakulum muskulorum flekesorum pedis untuk membagi menjadi cabang-cabang kutaneus terminal yang mempersarafi kulit betis lateral bawah, kaki dan kelingking kaki.

(4) N. plantaris medialis (L4, 5) berjalan bersama dengan a. plantaris medialis di antara m. abductor halusis dan m. fleksor digitorum brevis. Memberikan 4 cabang motoris dan kutaneus ke medial 3 ½ jari.

(5) N. plantaris lateralis (S1,2) berjalan bersama dengan a. plantaris lateralis ke basis metatarsal ke-5 dimana saraf ini terbagi menjadi cabang superfisialis dan profunda. Cabang-cabang ini sama-sama mempersarafi kulit lateral 1 ½ jari dan otot-otot lain pada telapak kaki.

4) N. febularis komunis (L4-S2)

a) Origo : cabang terminal n. iskiadikus

b) Perjalanan : melewati sisi medial tendon biscep sepanjang batas superolateral fosa poplitea. Saraf ini melengkung disekeliling kolum fibula dan dalam m. peroneus longus terbagi menjadi cabang-cabang terminal, yaitu nn. Superfisialis dan profunda.

c) Cabang-cabang :

(1) Cabang-cabang genikularis menuju artikulatisio genus

(2) N. kutaneus surae lateralis

(3) Cabang komunis suralis

(4) N. fibularis superfisialis (L5,S1,2) cabang ini berjalan dalam dan mempersarafi otot di kompartemen lateral (peroneal) tungkai. Selain itu juga mempersarafi kulit di atas dua pertiga lateral tungkai dan seluruh dorsum kaki kecuali area diantara jari ke-1 dan ke-2 yang dipersarafi oleh n. fibularis profunda.

(5) N. fibularis profunda (L4,5,S1,2) berjalan bersama dengan pembuluh darah tibialis anterior di atas membrane interoseus ke dalam kompartemen anterior tungkai kemudian di atas pergelangan kaki menuju dorsum kaki. Mempersarafi semua otot di kompartemen anterior dan membeerikan cabang kutaneus yang mempersarafi area antara jari ke-1 dan ke-2.

e. Sistem Pembuluh Darah

1) Pembuluh darah arteri

Arteri membawa darah keluar dari jantung menuju tubuh dan arteri ini selalu membawa darah segar berisi oksigen, kecuali arteri pulmonare yang membawa darah kotor yang memerlukan oksigenasi. Pembuluh darah arteri pada tungkai antara lain:

a) A. femoralis

(1) Perjalanan : a. femoralis berawal sebagai lanjutan dari a. iliaka eksterna di belakang ligamentum inguinale pada titik mid-inguinalis. Pada kunci paha v. femoralis terletak tepat disebelah medial arteri dan keduanya dilapisi oleh selubung femoralis. Sebaliknya, n. femoralis terletak tepat dilateral selubung femoralis, A. femoralis menuruni paha dan lewat dibawah m. Sartorius kemudian menembus kanalis adductor (Hunter) menjadi a. poplitea.

(2) Cabang-cabang :

(a) Cabang-cabang dibagian atas trigonum femoralis, terdapat empat cabang yang memasok darah ke jaringan superfisialis dinding bawah abdomen dan perenium

(b) A. Profunda femoris, keluar dari sisi lateral a. femoralis 4 cm dibawah ligamentum inguinale. Dekat origonya membentuk cabang-cabang sirkumfleksa femoralis medialis dan lateralis. Cabang-cabang ini turut membentuk anastomosis trokanterika dan crusiata. A. profunda berjalan kebawah disebelah dalam m. adductor longus dalam kompartemen medial paha dan memiliki 4 rami perforantes. Keempat-empatnya mengelilingi femur di sebelah posterior dan melubangi serta memasok darah ke semua otot yang dilewatinya. Cabang-cabang profunda dan perforantes akhirnya membentuk anastomosis dengan cabang-cabang genokularis a. poplitea.

b) A. poplitea

(1) Perjalanan : a. femoralis berlanjut sebagai a. poplitea yang menembus hiatus pada m. adduktor magnus dan memasuki rongga poplitea. Dari atas, arteri ini menuruni permukaan posterior femur, kapsula artikulasio jenus dan kemudian ke fasia yang melapisi popliteus dan lewat dibawah arkus fibrosa soleus dimana terbentuk bifurkasio menjadi aa. tibialis anterior dan posterior. Struktur ini merupakan struktur terdalam di fosa, sehingga denyutnya sukar teraba. V. poplitea menyilang arteri di superficial dan n. tibialias menyilang dari lateral ke medial di atas vena. Cabang peroneal dari tibialis posterior bias keluar lebih dini sehingga terbentuk trifurkasio poplitea.

(2) Cabang-cabang : a. muskularis, a. suralis dan lima aa.genikularis keluar dari a. poplitea. A. genikularis membentuk anastomosis yang padat di sekitar lutut.

c) A. tibialis anterior

(1) Perjalanan : a. tibialis anterior lewat di sebelah anterior dari origonya, berdampingan dengan v.komitans, di atas batas atas membrane interoseus dan kemudian menuruni permukaan anterior membrane dan membentuk cabang-cabang muscular menuju kompartemen ekstensor tungkai. Arteri ini menyilang bagian depan artikulasio talokruralis di pertengahan antara kedua maleoli di mana namanya berubah menjadi a. dorsalis pedis. M. tibialis anterior dan m.ekstensor digitorium longus menjepit arteri sepanjang perjalalannya masing-masing di sisi medial dan lateral. M.ekstensor halusis longus dimulai di sisi lateral namun menyilang arteri sehingga menjadi terletak di medial pada ujung perjalanannya. A. dorsalis pedis berjalan berjalan pada dorsum pedis setinggi basis metatarsal kemudian di antara kaput dari dua mm. interosei dorsalis pertama untuk memasuki telapak kaki dan turut membentuk arkus plantaris profunda. Sebelum lewat di telapak kaki keluar cabang metatarsal dorsal ke-1 dan melalui cabang arkuata keluar tiga cabang metatarsal dorsal lainnya.

(2) Cabang-cabang a. tibialis anterior di antaranya: cabang muscular dan maleolar.

d) A. tibialis posterior

(1) Pejalanan : a. tibialis posterior berasal dari cabang terminal a. poplitea. Arteri ini berdampingan dengan v. komitans dan memasok darah ke kompartemen fleksor tungkai. Kira-kira di pertengahan betis n. tibialis menyilang di belakang arteri dari medial ke lateral. Arteri ini akhirnya lewat di belakang maleolus medialis dan terbagi menjadi aa. Plantaris medialis dan lateralis di bawah retinakulum fleksorum pedis. Cabang lateral ini masuk ke telapak kaki di sebelah dalam m. abductor halusis. Di sebelah posterior maleolus medialis struktur yang bias di temukan dari depan ke belakang adalah: m. tibialis posterior, m. fleksor digitorum longus, a. tibialis posterior dan v. komitans, m. tibialis dan fleksor halosus longus.

(2) Cabang-cabang :

(a) A. Fibularis, biasanya keluar dari a. tibialis posterior kira-kira 2,5 cm dari panjangnya. Arteri ini berjalan di antara m. tibialis posterior dan fleksor halusis longus dan memasok darah ke kompartemen perioneal (lateral) tungkai. Arteri ini berakhir dengan membagi diri menjadi rami perforantes yang menembus membrane interoseus dan cabang kalkaneus lateral.

(b) Cabang-cabang lain, a. tibialis posterior bercabang menjadi cabang nutrisia dan muscular dalam perjalannya.

(c) A. plantaris lateralis, lewat diantara m. fleksor aksesorius dan m. fleksor digitorum brevis menuju aspek lateral telapak kaki dimana arteri terbagi menjadi cabang superficialis dan profunda.

(d) A. plantaris medialis, berjalan di aspek medial telapak kaki dan memberikan cabang-cabang yang bergabung dengan cabang metatarsal plantaris dari a. plantaris lateralis untuk memasok darah ke jari-jari kaki.

2) Pembuluh darah vena

a) Vena superfisialis ekstremitas bawah

(1) V. safena magna, keluar dari ujung medial jaringan v. dorsalis pedis. Vena ini berjalan di sebelah anterior maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan n. safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patella lutut dan kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha. Pembuluh ini menembus fasia kribrifemoris dan mengalir ke v. femoralis pada hiatus safenus.

(2) V. safena parva, keluar dari ujung lateral jaringan v. dorsalis pedis. Vena ini melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas belakang betis keadaan menembus fasia profunda pada berbagai posisi untuk mengalir ke v. poplitea.

b) Vena profunda ekstremitas bawah

Vena-vena profunda pada betis adalah v. komitans dari aa. tibialis anterior dan posterior yang melanjutkan sebagai v. poplitea dan v. femoralis. Vena profunda ini membetuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal di mana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh kontraksi otot saat olahraga.

2. Definisi

Post operasi adalah suatu keadaan setelah dilakukan pembedahaan pada bagian tubuh tertentu.

Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan karena trauma atau keadaan patologis (Dorlan, 1994). Pengertian fraktur yang lain adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2001)

Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad Ramali, 1987). 1/3 distal dextra adalah tulang dibagi menjadi tiga bagian kemudian bagian paling bawah yang diambil.

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000).

Plate and screw adalah suatu alat untuk menstabilkan patah tulang panjang yang menggunakan lempeng dan sekrup yang dipasang diluar tulang.

Terapi latihan adalah suatu usaha pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerarakan tubuh baik secara aktif maupun pasif.

3. Etiologi

Tulang bersifat relative rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).

Fraktur akibat peristiwa trauma sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan dapat terjadi keretakan pada tulang akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal. Sedangkan fraktur patologik dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (Apley, 1995).

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan.

a. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. Fraktur dapat bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

b. Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Bagian yang sering patah adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. Pada fraktur jenis ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

c. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Oswari E, 1993).

Tekanan pada tulang dapat berupa :

1) Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik

2) Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal

3) Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi atau fraktur dislokasi

4) Fraktur oleh karena remuk

5) Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian tulang.

4. Klasifikasi

a. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :

1) Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih,

2) Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :

a) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih.

b) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.

c) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.

b. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang dibagi manjadi 3 :

1) Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)

2) Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu tulang)

3) Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang

4) Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih

5) Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.

c. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :

1) Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya

2) Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas :

(a) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat

(b) Angulated, membentuk sudut tertentu

(c) Rotated, memutar

(d) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi

(e) Overriding, garis fraktur tumpang tindih

(f) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.

Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh

b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.

5. Patofisiologi

Kondisi fraktur dapat ditangani dengan tepat menggunakan operasi immobilisasi pemasangan plate and screw untuk memperoleh penyambungan yang baik. Tindakan operasi pemasangan plate and screw pada kondisi fraktur cruris 1/3 distal dilakukan pembedahan atau incisi pada daerah lateral. Otot yang mungkin terkena akibat incisi ini adalah m. tibialis anterior, sedangkan arteri yan g terkena adalah a. tibialis anterior. Akibat terpotongnya pembuluh darah maka cairan dalam sel akan keluar ke jaringan dan menyebabkan pembengkakan. Dengan adanya ini akan menekan ujung syaraf sensoris yang akan menyebabkan nyeri. Akibatnya gerakan pada area tersebut akan terbatas oleh karena nyeri itu sendiri (Appley, 1995).

Adanya oedem (bengkak) dan nyeri menyebabkan penderita enggan menggerakan kakinya sehingga dapat menimbulkan spasme (ketegangan otot) akibat penumpukan asam laktat dan dapat juga menimbulkan keterbatasan lingkup gerak sendi yang lama kelamaan akan mengakibatkan penurunan kekuatan otot.

6. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis fraktur adalah didapatkan adanya riwayat trauma, hilangnya fungsi, tanda-tanda inflamasi yang berupa nyeri akut dan erat, pembengkakan lokal, merah atau perubahan warna dan panas pada daerah tulang yang patah. Selain itu ditandai juga dengan juga dengan deformitas, dapat pula berupa angulasi, rotasi atau pemendekan serta krepitasi. Apabila fraktur terjadi pada persendian atau ekstremitas maka akan ditemui keterbatasan LGS (lingkup gerak sendi). Pseudoartrosis dan gerakan abnormal.

7. Problematik Fisioterapi

Problematik fisioterapi yang dapat dijumpai pada kondisi post operasi fraktur cruris 1/3 distal dengan pemasangan plate and srew dapat berupa :

a. Nyeri pada jaringan lunak disekitar fraktur akibat pembedahan

b. Bengkak pada kaki

c. Spasme otot tungkai bawah dan kaki

d. Keterbatasan lingkup gerak sendi

e. Kelemahan otot-otot tungkai bawah

8. Proses Penyambungan Tulang

Pada kondisi fraktur fisiologis akan diikuti proses penyambungan. Proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 fase, yaitu: fase haematoma, fase proliferasi, fase pembentukan kalus, fase konsolidasi dan fase remodeling (Appley, 1995)

a. Fase haematoma

Pada fase haematoma terjadi selama 1-3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk haematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.

b. Fase proliferasi

Pada fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Haematoma yang membeku perlahan-lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah fraktur.

c. Fase pembentukan kalus

Pada fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik, jika diberikan tindakan yang tepat sel itu akan membentuk tulang, cartilago dan osteoklas. Masa tulang akan menjadi lebih tebal dengan adanya tulang dan cartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteal dan endosteal. Terjadi selama 4 minggu, tulang matti akan dibersihkan.

d. Fase konsolidasi

Pada fase konsolidasi terjadi 3 minggu hingga 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoklastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoklas tidak memungkinkan osteoklas untuk menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblast. Perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.

e. Fase remodeling

Pada fase remodeling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembetukan tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur, antara lain: usia pasien, banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya (Garrison, 1996).

9. Teori Nyeri

a. Definisi

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuru, 2007). Nyeri, sakit, dolor (Latin) atau pain (Inggris) adalah kata-kata yang artinya bernada negatif, menimbulkan perasaan dan reaksi yang kurang menyenangkan.

b. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangasangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadapstimulasi kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada daerah viseral. Nociceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagai menjadi :

1) Reseptor A delat

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri tersebut dihilangkan.

2) Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot dan jaringan penyangga lainnya. Karena, struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

c. Teori Gerbang Control

Gate control adalah impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri (Melzak, 1965). Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoresetor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.

10. Pemeriksaan Penunjang

Tidak semua tanda dan gejala yang telah dipaparkan diatas terdapat fraktur, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis adalah menggunakan X-foto,dengan menggunakan X-foto ini dapat dilihat ada tidaknya patah tulang, luas dan keadaan fragmen tulang. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengikuti proses pertumbuhan tulang.

11. Penanganan Fraktur

Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan. Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang selangka (terutama pada anak-anak), tulang bahu, tulang iga, jari kaki dan jari tangan, akan sembuh sempurna. Patah tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (
imobilisasi). Imobilisasi bisa dilakukan melalui:

a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang

b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah

c. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang pinggul. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Imobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan menciut.

d. Pada penulisan karya tulis ilmiah ini penanganan pada kondisi fraktur imobilisasi yang digunakan menggunakan fiksasi interna berupa plate and screw.

12. Plate and Screw

Plate and screw adalah suatu alat untuk menstabilkan patah tulang panjang yang menggunakan lempeng dan sekrup yang dipasang diluar tulang.

Pemasangan plate pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyebrangi gap antar fraktur.

Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasngan plate atau external fixation device (Behrens, 1996)

Ada 4 desain utama:

a. Butter plates, biasa digunakan disekitar sendi untuk menyokong fraktur intraartikuler

b. Compression plates, digunakan pada tulang panjang dan pada operasi non union atau mal union

c. Neutralization plates, digunakan pada fraktur yang mencakup fibula, radius, ulna, humerus

d. Bridges plates, manajemen fraktur artikular (Behrens, 1996).

Indikasi pemakaian plat and screw :

a. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan opersi

b. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah reduksi (misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan yang bergeser

c. Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan, terutama fraktur pada leher femur

d. Fraktur patologik, dimana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhannya.

Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada pemasangan plat and screw adalah akibat dari teknik yang buruk dan proses pembedahan yang buruk.

a. Infeksi, infeksi iatrogenic sekarang merpakan penyebab osteitis kronis yang paling sering ditemukan. Logam bukan merupakan predisposisi untuk infeksi melainkan pembedahan yang merupakan presdisposisi

b. Non-union, jika tulang telah terikat kuat dengan ujung-ujung yang terpisah, fraktur mungkin gagal menyatu. Ini lebih sering ditemukan pada kaki atau lengan bawah

c. Kegagalan implant, logam dapat keropos dan sbelum terjadi penyatuan tulang. Karena itu, tekanan harus dihindari dan pasien dengan tibia yang diberi plat harus berjalan dengan penopang dan harus menahan beban minimal saja selam beberapa bulan pertama. Nyeri pada tempat fraktur merupakan tanda bahaya dan harus diperiksa

d. Fraktur ulang, tidak boleh melepas implant logam terlalu cepat atau tulang akan patah lagi (Apley, 1995)

Modalitas yang digunakan untuk memeberikan terapi pada kondisi post operasi fraktur cruris 1/3 distal adalah penggunaan internal fiksasi berupa plate and screw dan menggunakan terapi latihan sebagai modalitas fisioterapinya.

13. Terapi Latihan

Terapi latihan adalah suatu usaha pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif (Gardiner, 1964)

Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi latihan sebagai berikut :

a. Indikasi terapi latihan

1) Keterbatasan LGS

2) Kontraktur otot

3) Spasme

4) Kelemahan otot

5) Sesak nafas

6) Nyeri dada

b. Kontra indikasi terapi latihan

1) Nyeri hebat

2) Hipertensi

Tujuan terapi latihan antara lain :

a. Memajukan aktivitas penderita dimana dan bilamana perlu

b. Memperbaiki otot-otot yang tidak efisien dan memperoleh kembali jarak gerak sendi yang normal tanpa memperlambat usaha mencapai gerakkan yang berfungsi dan efisien

c. Memajukan kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat mengembalikan ke aktivitas normal.

Adapun tujuan dari terapi latihan adalah mencegah gangguan fungsi, mengembangkan, memperbaiki, mengembalikan dan memelihara :

a. Kekuatan otot

b. Daya tahan dan kebugaran kardiovaskuler

c. Mobility dan flexibility

d. Stabilisatas

e. Rileksasi

f. Koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

Tehnik terapi latihan dan gerakan yang dipergunakan dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Active Movement

1) Free Active Movement

Free active movement adalah bentuk latihan dimana gerakan yang terjadi akibat kontraksi otot yang bersangkutan tanpa pengaruh dari luar.

2) Assisted Active Movement

Assisted active movement adalah latihan dimana gerakan yang terjadi akibat kontraksi otot yang bersangkutan dan mendapat bantuan dari luar, karena otot utama membutuhkan bantuan untuk melengkapi gerakan. (Kisner, 1996).

b. Passive Movement

Bentuk passive movement yang dipakai dalam terapi post operasi fraktur cruris 1/3 distal adalah relaxed passive movement yaitu gerakkan dilakukan dengan LGS penuh atau sesuai dengan batas nyeri yang dirasakan penderita. Efek dan kegunaan relaxed passive movement :

1) Mencegah proses perlengketan jaringan untuk memelihara kebebasan gerak sendi

2) Mendidik kembali pola gerakan dengan stimulasi pada propiosepsi

3) Memelihara ekstensibilitas otot dan mencegah pemendekan otot

4) Memperbaiki atau memperlancar sirkulasi peredaran darah

Apabila nyeri yang dirasakan tidak terlalu berat dapat dilakukan forced passive movement.

Efek dan kegunaan forced passive movement adalah :

1) Membebaskan perlenglengketan jaringan

2) Mencegah pemendekan struktur sekitar sendi

c. Hold Relax

Adalah suatu tehnik yang menggunakan kontraksi isometric yang optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, yang dilanjutkan dengan rileksasi otot tersebut. Cara pemberian hold relax :

1) Gerakan pasif atau aktif pada pola gerak agonis hingga batas keterbatasan gerak atau LGS dimana nyeri mulai timbul

2) Terapis memberi tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien mesti melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakan (dengan menggunakan aba-aba)

3) Diikuti rilaksasi dari antagonis tersebut, tunggu hingga benar-benar rileks

4) Gerakan secara aktif atau pasif kearah pola agonis

5) Ulangi prosedur diatas

6) Penguatan pola gerak agonis dengan cara menambah LGSnya

7) Selama fase rilaksasi, manual kontek tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien mampu benar-benar rileks.

Tujauan pemberian hold relax :

1) Perbaikan rileksasi pola antagonis

2) Perbaikan mobilisasi

3) Penurunan nyeri


B. PROSES FISIOTERAPI

1. Pemeriksaan Subyektif

a. Anamnesis

Anamnesis bertujuan untuk memperoleh informasi akurat dan relevan, sehingga pertanyaan harus jelas dan mudah dijawab. Anamnesis dikelompokan menjadi :

1) Heteroanamnesis, tanya jawab pada orang-orang atau keluarga pasien yang mengetahui kondisi pasien

2) Autoanamnesis, tanya jawab secara langsung kepada pasien, dapat dibagi menjadi : anamnesis umum dan anamnesis khusus.

a. Keluhan utama mengenai keluhan yang pertama kali dirasakan oleh pasien. Rasa tidak nyaman pada suatu anggota tubuh sehingga mendorong pasien untuk mencari pertolongan.

b. Riwayat penyakit sekarang berupa perjalanan penyakit termasuk didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, waktu terjadi serangan, sifat, faktor yang memperberat, faktor yang memperingan, aktualitas keluhan, pertolongan sebelumnya, stadium dari kondisi dan riwayat pengobatan.

c. Riwayat penyakit dahulu merupakan penyakit yang pernah pasien alami yang berhubungan penyakit sekarang.

d. Riwayat pribadi berupa hobi atau kebiasaan-kebiasaan pasien dan pekerjaan sehari-hari.

2. Pemeriksaan Objektif

a. Tanda-tanda Vital

Tanda-tanda vital adalah tanda atau gambaran pada tubuh seseorang yang penting untuk diketahui sehingga kita dapat mengetahui keadaan tubuh seseorang, pemeriksaan tanda vital meliputi :

1) Tekanan darah

2) Denyut nadi

3) Frekuensi pernafasan

4) Temperatur

5) Tinggi badan

6) Berat badan

b. Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal yang bisa dilihat atau diamati seperti keadaan umum, kondisi berat badan, bentuk kurva vertebra (postur), sianosis, pucat, gerakan-gerakan pernafasan abnormal, kontraksi otot bantu pernafasan. Macam-macam inspeksi ada 2, yaitu :

1) Inspeksi statis yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan diam

2) Inspeksi dinamis yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan bergerak, contoh waktu penderita bernafas, beraktivitas.

c. Palpasi

Palpasi adalah cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang organ atau bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya spasme, nyeri tekan, suhu, oedem, kontraktur, kontur organ, tingkat kesamaan ekspansi dan atropi.

d. Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indra pendengaran baik menggunakan telinga maupun dengan bantuan stetoskop. Hal-hal yang dapat di auskultasi adalah bunyi pada saat pernafasan dan bunyi gesekan tulang ataupun sendi.

e. Pemeriksaan Gerak Dasar

1) Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif, untuk menentukan kekuatan otot, ROM aktif, nyeri dan koordinasi gerak.

2) Pemeriksaan Gerak Fungsi Pasif, untuk menentukan ROM pasif (normal, hypomobilitas, hypermobilitas), nyeri, end feel, bunyi, tonus otot dan panjang otot.

3) Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif Melawan Tahanan, untuk menelah rasa nyeri (provokasi myotendinogen) dan kelemahan otot (gangguan neuromuscular)..

f. Pemeriksaan Spesifik

1) Goneometer

Untuk mengetahui Lingkup Gerak Sendi (LGS) pada pasien. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk mengetahui besarnya LGS suatu sendi dan mebandingkannya dengan LGS sendi yang normal.

2) MMT (Manual Muscle Testing)

Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual (manual muscle testing, MMT). Pemeriksaan ini dutujukan untuk mengetahui kemampuan mengkontraksikan kelompok otot secara volunter.

Nilai kekuatan otot :

0 : Tidak ada kontraksi sama sekali

1 : Ada kontraksi otot, tetapi ada pergerakan sendi.

2 : Ada kontraksi otot, ada pergerakan sendi tetapi tidak full ROM

3 : Ada kontraksi otot, ada pergerakan sendi, full ROM mampu melawan gravitasi

4 : Ada kontraksi otot, ada pergerakan sendi full ROM tetapi hanya mampu melawan tahanan manual minimal.

5 : Ada kontraksi otot, ada pergerakan sendi full ROM, mampu melawan tahanan minimal maksimal.

3) VAS (Visual Analog Scale)

VAS adalah pengukuraan derajat nyeri dari satu titik ke titik berikutnya pada satu garis skala nyeri yang diukur sepanjang 10 cm dari 0 s/d 10.

Nilai 0 (nol) adalah pasien tidak merasakan nyeri, semakin tinggi nilai nyeri maka nyeri yang dirasakan sangat berat hingga nilai skala nyeri 10 yaitu nyeri yang dirasakan tidak tertahankan.

0 10

3. Data Penunjang

Meliputi semua data seperti laboratorium, CT-scan, roentgen, dan lainnya.

4. Diagnosis Fisioterapi

Diagnosis fisioterapi ditentukan berdasarkan analisa dan pengkajian semua data yang telah dikumpulkan berdasarkan penemuan dan hasil pemeriksaan yang ada. Diagnosa fisioterapi meliputi :

a. Impairment : berupa adanya kelainan maupun gangguan yang terjadi pada pasien dengan kondisi post opersai fraktur cruris 1/3 distal dextra dengan pemasangan plat and screw.

b. Functional Limitation : berupa keterbatasan fungsi yang terjadi pada pasien dengan kondisi post opersi fraktur cruris 1/3 distal dengan plate and screw sehingga pasien kesulitan dalam melakukan ADL-nya.

c. Disability : berupa ketidak mampuan pasien untuk kembali melakukan pekerjaan, hobi maupun sosialisasinya dengan lingkungan sekitar.

5. Rencana Intervensi

Rencana intervensi fisioterapi berupa :

a. Tujuan :

1) Tujuan jangka pendek : merupakan suatu tujuan yang ditentukan berdasarkan problematik untuk mengurangi keluhan yang muncul.

2) Tujuan jangka panjang : merupakan suatu tujuan jangka panjang untuk meningkatkan, mengembangkan dan memelihara kemampuan ADL pasien secara mandiri.

3) Rencana intervensi : merupakan suatu rencana dengan pemberian modalitas fisioterapi pada pasien sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

b. Tindakan fisioterapi :

1) Teknologi fisioterapi :

a) Teknologi alternatif : berupa teknologi yang dapat digunakan untuk kasus tersebut.

b) Teknologi terpilih : berupa teknologi yang dipilih oleh terapis dari sekian banyak teknologi alternatif yang akan digunakan untuk melakukan terapi pada pasien dengan kasus tersebut.

c) Teknologi yang dilaksanakan : berupa teknologi yang digunakan dan dilaksanakan oleh terapis saat terapi berlangsung.

2) Edukasi : berupa saran dan home program yang diberikan terapis dengan tujuan agar pasien dapat melakukan saran dan home program di rumah sehingga keluhan pasien akan berkurang.

c. Rencana evaluasi : merupakan suatu rencana yang akan dilakukan berikutnya setelah terapi dan berdasarkan hasil yang didapat dari pelaksanaan terapi.

6. Pelaksanaan Fisioterapi

Berupa tindakan yang dilakukan terapis pada pasien dan suatu penatalaksanaan yang diberikan pada pasien serta teknik-tekniknya yang sesuai dengan keluhan yang dialami pasien yaitu berupa teknik-teknik dalam pemberian modalitas dan tata caranya.

7. Prognosis

Merupakan suatu perkiraan tentang kondisi pasien selanjutnya yaiut dengan penilaian berupa :

a. Quo ad vitam berupa penilaian tentang kesembuhan pasien.

b. Quo ad sanam berupa penilaian tentang hidup dan mati pasien.

c. Quo ad fungsionam berupa penilaian tentang fungsi dari tubuh pasien yang mengalami gangguan.

d. Quo ad Cosmeticam berupa tampilan dari kondisi tubuh pasien yang mengalami gangguan.

Penilaian untuk masing-masing point-nya yaitu baik, dubia ad malam (kesembuhan ke arah jelek), dubia ad bonam (kesembuhan ke arah baik) dan jelek.

8. Evaluasi Hasil Terapi

Evaluasi hasil terapi adalah tindakan untuk membandingkan data sebelum terapi agar lebih mudah dan lebih cermat dalam mengetahui perkembangan terapi.

C. KERANGKA BERFIKIR

Pada pasien dengan kondisi post operasi fraktur cruris mempunyai problematic fisioterapi sebagai berikut : terdapat nyeri didaerah incisi akibat pembedahan, oedem akibat peredaran darah darah yang tidak normal di area ankle, spasme otot pada daerah tungkai bawah dan kaki, penurunan kekuatan otot dan keterbatasan lingkup gerak sendi ankle. Problematik tersebut merupakan keluhan yang timbul pada suatu kondisi setelah pembedahan.

Modalitas yang dapat digunakan dalam mengatasi probematik diatas sangat beragam, kerena keterbatasan modalitas yang digunakan dalam terapi di bangsal, maka penulis mengambil modalitas terapi latihan berupa latihan gerak aktif, gerak pasif isometric melawan tahan dan hold relax.

Terapi menggunakan latihan gerak aktif yaitu bentuk latihan dimana gerakan yang terjadi akibat kontraksi otot bersangkutan tanpa pengaruh dari luar. Gerakan dilakukan dalam LGS penuh (full ROM) dan meliputi satu atau banyak sendi. Tujuan pemberian latihan gerak aktif adalah untuk meningkatkan kekuatan otot karena otot bekerja secara maksimal untuk mendapatkan lingkup gerak sendi yang maksimal.

Latihan gerak pasif adalah bentuk latihan dimana gerakan yang terjadi akibat kontraksi otot bersangkutan yang mendapat pengaruh dari luar (dari terapis). Dilakukan dengan LGS penuh sampai batas gerak sendi. Efek dan kegunaan dari latihan gerak pasif adalah membebaskan perlengketan jaringan dan mencegah pemendekan struktur sekitar sendi sehingga latihan gerak pasif mampu meningkatkan lingkup gerak sendi.

Hold relax adalah suatu tehnik yang menggunakan kontraksi isometric yang optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, yang dilanjutkan dengan rileksasi otot tersebut. Tujuan dari pemberian hold relax mampu mengurangi rasa nyeri.